Dua tahun yang lalu, tepatnya tahun-tahun sebelum pandemi, masih sedikit kasus anak yang lekat dengan gadget. Praktisi parenting gencar memberikan solusi-solusi preventif agar anak tidak lekat dengan gadget-nya. Seminar-seminar parenting tidak lelah memaparkan dampak gadget pada perkembangan psikologis anak. Upaya preventif ini semakin menguatkan pola asuh dan aturan para orangtua agar lebih disiplin dan bijak dalam memberikan akses gadget kepada anak-anak. Aturan lebih mudah dikondisikan karena dalam aktivitas keseharian anak tidak terkait dengan gadget.
Kasus Covid-19 masuk ke Indonesia pada tahun 2020. Sesegara mungkin, semua tatanan kehidupan sosial beralih dengan sistem online (daring). Ini adalah masa di mana anak-anak harus menjalani dan menyelesaikan pendidikannya secara daring. Alhasil, segala hal yang mulanya sudah tersusun pun menjadi tidak dapat dijalankan dengan maksimal. Termasuk pola asuh dan solusi preventif aktivitas anak dengan gadget. Anak “dipaksa” lebih dekat lagi berinteraksi dengan gadget karena seluruh pembelajaran dilangsungkan secara daring. Kasus anak kecanduan gadget pun meningkat seiring dengan meningkatnya pula kecemasan orangtua dengan pola asuh yang tidak berjalan ideal. Kekhawatiran dan kegelisahan orangtua yang timbul karena keharusan memberi kepercayaan pada anak-anaknya untuk beraktivitas dengan gadget. Hubungan keduanya semakin akrab, sehingga dibutuhkan solusi-solusi praktis dalam membentuk karakter anak.
Kasus-kasus meningkat, kuantitas interaksi anak dengan keluarga berkurang, komunikasi terhambat, anak lebih menyukai gadget dan kamarnya, aktivitas fisik berkurang, aktivitas sosial terbatas, serta perkembangan emosi yang kurang berkembang. Pada kasus-kasus tertentu, ditemui usia remaja yang sudah menjadi sindikat jual-beli video porno, bipolar, abai terhadap pendidikan (sekolah dan tugas-tugas), serta hubungan dengan orangtua yang memburuk. Sementara itu, orangtua perlu menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat, untuk menemukan solusi yang tepat. Seminar-seminar parenting terus berlangsung, lebih banyak membincang terkait solusi. Namun tidak ada yang instan, dan terkadang tidak tuntas dengan satu kali pertemuan.
Psikoaktif, salah satu biro psikologi terapan yang turut peduli terhadap pembentukan karakter anak dan pendidikan, melakukan focused grup discussion (FGD) bersama rekan-rekan dengan kepedulian yang sama. FGD tersebut dihadiri oleh di antaranya psikolog, praktisi pendidikan dan remaja, kepala sekolah, pegiat sekolah orang tua, fisioterapis, pengelola pondok pesantren, ustadz, motivator dan hipnoterapis, mahasiswa magister profesi psikologi, relawan RSJ, pekerja sosial, hingga ibu rumah tangga. Pada acara tersebut, audiensi diberi kesempatan untuk bertanya dan mengemukakan pendapatnya, serta berbagi pengalaman. Terdapat beberapa kesimpulan dari FGD yang selanjutnya akan dibahas lebih mendalam dari setiap temuan tema. Pada era ‘new normal’, tidak mengapa anak bersanding dengan gadget, namun ada hal-hal yang perlu dilakukan sehingga karakter anak tetap terbentuk dan berkembang dengan baik.
Akidah. Disepakati dan diyakini bahwa menanamkan akidah, akhlak, dan adab pada anak menjadi dasar yang kuat untuk mengontrol perilakunya dalam beraktivitas dengan gadget. Di dalamnya termasuk rasa takut pada Allah SWT, kejujuran, serta tanggung jawab sebagai seorang muslim. Tuntutannya tidak hanya pada anak, namun juga pada cara orangtua dalam menyampaikan dan memahamkan pada anak. Dalam QS. An-Nisa: 5, “Jangan serahkan harta pokok kalian kepada mereka yang belum sempurna akalnya. Namun berikanlah mereka nafkah dan pakaian serta ucapkanlah kata-kata yang baik.”
Teladan. Orangtua menjadi instrumen paling baik bagi anak dalam mencontoh dan meniru. Bahkan pada usia remaja, sikap kritis anak akan ditunjukkan ketika terjadi ketidakkonsistenan perilaku orang tua, antara larangan, anjuran, dengan perilaku. Maka karakter anak yang terbentuk tidak terlepas dari faktor lingkungan yaitu nilai-nilai dan perilaku orang tua.
Komunikasi. Teladan saja tidak cukup, dibutuhkan komunikasi efektif dua arah, sehingga terjalin kepercayaan, keterbukaan, serta kejujuran. Di mana di dalamnya akan terjalin kelekatan emosi yang baik. Dengan menjadi pendengar yang baik, maka komunikasi dua arah akan terbentuk, sehingga orangtua dapat memahami kondisi anak. Terkadang perlu untuk mengikuti alur dan kebiasaan anak, sehingga orangtua dapat mendesain pola asuh, pola komunikasi, serta aturan pada anak—selama alur dan kebiasaan tersebut tidak melenceng dari norma agama dan syari’at.
Cari akar masalah. Bagaimana jika anak telanjur bermasalah? Maka carilah akar permasalahannya terlebih dulu. Tetap lakukan hal-hal yang telah dipaparkan diatas; akidah yang kuat, intropeksi diri sebagai teladan, perbaiki komunikasi, untuk memahami kondisi anak. Dengan menemukan akar permasalahan, maka intervensi dan penanganan yang digunakan dapat disesuaikan dengan permasalahan yang terjadi.
Memberi tantangan. Hidup berdampingan dengan gadget yang sudah menjadi kebutuhan, arahkan agar gadget tetap berfungsi dengan baik. Dengan memahami kondisi anak, menemukan akar permasalahan, kesukaan, serta kebutuhan, selanjutnya berikanlah tantangan kepada anak dalam pemakaian gadget. Misalnya dari menonton sesuatu (yang tentu saja positif), kemudian dilanjutkan dengan presentasi mengenai nilai-nilai yang terdapat pada tayangan tersebut, membuat konten yang bermanfaat, memberi tantangan untuk membuat game, atau memberi stimulus agar mendapatkan penghasilan dari gadget. Tentunya tantangan tersebut harus masih dalam koridor yang positif dan bermanfaat.
Beberapa hal di atas dapat diterapkan agar anak tetap terbentuk karakter islami-nya karena tidak dapat dipungkiri lagi bahwa gadget sudah menjadi bagian dan kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Perlu pemahaman tentang bahaya gadget, namun perlu juga memahami bahwa gadget dapat difungsikan dengan baik dan tepat. Gadget dapat dijadikan sarana dakwah, dan juga pembentukan karakter islami yaitu dengan tetap membentuk nilai kejujuran, ketaatan, tanggung jawab, kontrol diri, manajemen waktu, dan lain-lain.